Minggu, 16 September 2012

SWEETNESS



TITTLE : SWEETNEES
AUTHOR : ZULAIPATNAM
GENDRE : PSYCOLOGY, ROMANCE
LEGTH : DRABBLE
CAST : Full OC dari Author
>>> STORY <<<
Tahu bagaimana rasanya dihianati?.
+++++
Perlahan matanya terbuka, bekas lebam yang tadinya nampak jelas kini sudah memudar digantikan warna biru darah mengeras. Kutarik jemariku dari dahinya secepat mungkin, aku tidak mau dia melihatku menyentuhnya. Matanya berkesiap ketika tersadar sepenuhnya, perlahan dia mencoba untuk bangkit dari ranjang. Kutahan dirinya dengan mengenggam erat lengan tangannya.
“kondisimu belum sembuh total.”
Jelasku singkat. Mendorong tubuh kurusnya agar kembali berbaring tapi dia menolak. Menghempaskan genggamanku dilengannya kuat.
“lepaskan aku!.”
Suaranya berteriak menghentakkan.
“apa yang kaulakukan padaku, huh?.”
Dia meneriaku seperti aku adalah seorang tersangka.
PLAK.
Kutampar pipinya yang memiliki luka baret. Kepalanya oleng dan dia mengerang kesal, memegangi pipinya yang kutampar dengan jemari lentiknya, perlahan kepalanya menoleh padaku, menusukku dengan tatapan nanarnya yang tajam.
“lihat!. Kau pria malang, bodoh. Jangan bertingkah sok dihadapanku karena jika tanpa aku kau pasti sudah menjadi seonggok daging busuk sisa makanan harimau dihutan sana.”
Teriaknya semakin menjadi, tangannya tak lagi memegangi pipi bekas tamparanku. Dia mendesak untuk bangkit dari ranjang.
Kubiarkan langkahnya berjalan, menahannya untuk tetap berbaring hingga sembuh total adalah imaji saja bagiku.
Tubuhnya ia sandarkan pada tepi jendela besar yang memberikan view sebuah hamparan taman bunga berwarna orange.
“kau tahu bagaimana rasanya dihianati, Reza….?.”
Pertanyaannya menyayat hatiku, air mukanya begitu berbeda dari saat dia membentakku tadi, dari kemarahan membuncah berubah menjadi kesedihan teramat dalam.
“rasanya seperti terdapat beribu-ribu jarum yang menusuk jantungmu, begitu banyak hingga tidak dapat dicabut, dan saking begitu banyaknya menyebabkan sakit yang tidak bisa disembuhkan.”
Kesunyian melanda, aku tidak sanggup mengomentari rintihannya. Yang kulakukan hanya duduk berdiam di tepi ranjang dengan tangan yang saling bertautan. Lebih sakit mana dari sebuah penghianatan atau menyaksikan orang yang kita cintai dihianati.
Pertanyaan itu menarikku dari alam kesadaran, menyeretku dalam dilema setiap kali menyaksikan kebersamaan yang tak kuinginkan.
“Reza…”
“Reza…, kau masih bersamaku?.”
“Reza….”
Kusentuh jemarinya dengan tanganku. Menautkan jemari kami meski dia tidak merespon, kutengadahkan kepala menatapnya yang menunduk padaku.
“lebih sakit menyaksikan orang yang kita cintai dihianati, Oni…”
Gumamku pelan.
“apa kau mengerti dengan apa yang kukatakan?.”
Tanyaku mencari kepastian dari kediamannya.
Dia mengangguk, menelan ludah kelihatannya sebelum berusaha lebih keras melepaskan tautan jemari kami.
“setiap sentuhannya padamu. setiap jengkal kalian melangkah bersama itu semua terasa menyiksa, menjadikanku seolah terpaksa menelan air panas mendidih. Namuan melihatmu disakiti seperti ini dan mendapatkan penghianatan, rasa sakitku berkali-kali lipat ketimbang melihatmu melangkah bersamanya.”
“Reza….”
Panggilannya begitu lembut, aku mungkin sudah dimabukkan oleh asmara sehingga menganggap segala yang ada pada dirinya begitu indah, manis, dan lembut. Mengesampingkan setiap perlakuannya padaku yang semena-semena dan tak menganggapku ada.
Matanya menatapku begitu dalam, kuelus pipinya bekas tamparanku dan tempat baret, lebam hiasan tangan orang sialan itu berada. Kuelus dan dia menikmatinya, memejamkan mata malah. Tanganku satunya yang bebas menarik tubuhnya agar duduk dipangkuanku, dia menurut.
“pengkhianatannya adalah jalan bagiku untuk menemukan dirimu.”
Bisikan itu mendesirkan setiap sel darah di tubuhku. Letupan dahsyat terasa membeludak dari dadaku, dia mengatakan kalimat termanis yang pernah kudengar semenjak kami bertemu.
“butuh waktu bagiku untuk menyembuhkan luka penghianatan ini, maukan kau menunggu bersamaku?.”
Tawaran.
“bahkan ketika luka penghianatanmu sembuh dan kau masih tak sanggup menerimaku, aku bersedia untuk tetap berada disampingmu untuk menjadi tempat kau mendapatkan hal-hal manis dan indah.”
Ucapku menanggapi tawarannya yang begitu menggiurkan.
Dia mengangguk mantap, menarikku dalam dekapannya yang hangat.
Beginikah akhir sebuah penantianku. Meratapi sebuah kecemburuan yang hanya terkukung dalam diri tanpa bisa diekspresikan sehingga ia menyadari. Sebuah penantian yang berujung pada hal yang manis.
>>> TAMAT <<<

Nb: silahkan nge-bash. Cerita ini absurd beud tapi tetep daku post…, heheheheh