Sabtu, 22 September 2012
Minggu, 16 September 2012
SWEETNESS
TITTLE
: SWEETNEES
AUTHOR
: ZULAIPATNAM
GENDRE
: PSYCOLOGY, ROMANCE
LEGTH
: DRABBLE
CAST
: Full OC dari Author
>>> STORY <<<
Tahu bagaimana rasanya dihianati?.
+++++
Perlahan matanya terbuka, bekas lebam yang tadinya
nampak jelas kini sudah memudar digantikan warna biru darah mengeras. Kutarik
jemariku dari dahinya secepat mungkin, aku tidak mau dia melihatku
menyentuhnya. Matanya berkesiap ketika tersadar sepenuhnya, perlahan dia
mencoba untuk bangkit dari ranjang. Kutahan dirinya dengan mengenggam erat
lengan tangannya.
“kondisimu belum sembuh total.”
Jelasku singkat. Mendorong tubuh kurusnya agar kembali
berbaring tapi dia menolak. Menghempaskan genggamanku dilengannya kuat.
“lepaskan aku!.”
Suaranya berteriak menghentakkan.
“apa yang kaulakukan padaku, huh?.”
Dia meneriaku seperti aku adalah seorang tersangka.
PLAK.
Kutampar pipinya yang memiliki luka baret. Kepalanya
oleng dan dia mengerang kesal, memegangi pipinya yang kutampar dengan jemari
lentiknya, perlahan kepalanya menoleh padaku, menusukku dengan tatapan nanarnya
yang tajam.
“lihat!. Kau pria malang, bodoh. Jangan bertingkah sok
dihadapanku karena jika tanpa aku kau pasti sudah menjadi seonggok daging busuk
sisa makanan harimau dihutan sana.”
Teriaknya semakin menjadi, tangannya tak lagi memegangi
pipi bekas tamparanku. Dia mendesak untuk bangkit dari ranjang.
Kubiarkan langkahnya berjalan, menahannya untuk tetap
berbaring hingga sembuh total adalah imaji saja bagiku.
Tubuhnya ia sandarkan pada tepi jendela besar yang
memberikan view sebuah hamparan taman bunga berwarna orange.
“kau tahu bagaimana rasanya dihianati, Reza….?.”
Pertanyaannya menyayat hatiku, air mukanya begitu
berbeda dari saat dia membentakku tadi, dari kemarahan membuncah berubah
menjadi kesedihan teramat dalam.
“rasanya seperti terdapat beribu-ribu jarum yang
menusuk jantungmu, begitu banyak hingga tidak dapat dicabut, dan saking begitu
banyaknya menyebabkan sakit yang tidak bisa disembuhkan.”
Kesunyian melanda, aku tidak sanggup mengomentari
rintihannya. Yang kulakukan hanya duduk berdiam di tepi ranjang dengan tangan
yang saling bertautan. Lebih sakit mana dari sebuah penghianatan atau
menyaksikan orang yang kita cintai dihianati.
Pertanyaan itu menarikku dari alam kesadaran,
menyeretku dalam dilema setiap kali menyaksikan kebersamaan yang tak
kuinginkan.
“Reza…”
“Reza…, kau masih bersamaku?.”
“Reza….”
Kusentuh jemarinya dengan tanganku. Menautkan jemari
kami meski dia tidak merespon, kutengadahkan kepala menatapnya yang menunduk
padaku.
“lebih sakit menyaksikan orang yang kita cintai
dihianati, Oni…”
Gumamku pelan.
“apa kau mengerti dengan apa yang kukatakan?.”
Tanyaku mencari kepastian dari kediamannya.
Dia mengangguk, menelan ludah kelihatannya sebelum
berusaha lebih keras melepaskan tautan jemari kami.
“setiap sentuhannya padamu. setiap jengkal kalian
melangkah bersama itu semua terasa menyiksa, menjadikanku seolah terpaksa
menelan air panas mendidih. Namuan melihatmu disakiti seperti ini dan
mendapatkan penghianatan, rasa sakitku berkali-kali lipat ketimbang melihatmu
melangkah bersamanya.”
“Reza….”
Panggilannya begitu lembut, aku mungkin sudah
dimabukkan oleh asmara sehingga menganggap segala yang ada pada dirinya begitu
indah, manis, dan lembut. Mengesampingkan setiap perlakuannya padaku yang
semena-semena dan tak menganggapku ada.
Matanya menatapku begitu dalam, kuelus pipinya bekas
tamparanku dan tempat baret, lebam hiasan tangan orang sialan itu berada.
Kuelus dan dia menikmatinya, memejamkan mata malah. Tanganku satunya yang bebas
menarik tubuhnya agar duduk dipangkuanku, dia menurut.
“pengkhianatannya adalah jalan bagiku untuk menemukan
dirimu.”
Bisikan itu mendesirkan setiap sel darah di tubuhku.
Letupan dahsyat terasa membeludak dari dadaku, dia mengatakan kalimat termanis
yang pernah kudengar semenjak kami bertemu.
“butuh waktu bagiku untuk menyembuhkan luka
penghianatan ini, maukan kau menunggu bersamaku?.”
Tawaran.
“bahkan ketika luka penghianatanmu sembuh dan kau
masih tak sanggup menerimaku, aku bersedia untuk tetap berada disampingmu untuk
menjadi tempat kau mendapatkan hal-hal manis dan indah.”
Ucapku menanggapi tawarannya yang begitu menggiurkan.
Dia mengangguk mantap, menarikku dalam dekapannya yang
hangat.
Beginikah akhir sebuah penantianku. Meratapi sebuah
kecemburuan yang hanya terkukung dalam diri tanpa bisa diekspresikan sehingga
ia menyadari. Sebuah penantian yang berujung pada hal yang manis.
>>> TAMAT <<<
Nb:
silahkan nge-bash. Cerita ini absurd beud tapi tetep daku post…, heheheheh
Kamis, 13 September 2012
Langganan:
Postingan (Atom)